17.8.06

Kasus2 NII

Aliran Bau Duit Kelompok "N Sebelas"
Kelompok Negara Islam Indonesia (NII), yang populer disebut N Sebelas, tetap eksis. Anggotanya dari semua kalangan, termasuk ABG dan mahasiswa. Mereka dicap memakai kedok agama untuk menipu.
MENJELANG siang, Jumat pekan lalu. Seorang perempuan, yang lebih tepat disebut Anak Baru Gede (ABG), memasuki ruangan kantor Lembaga Pengkajian Islam Salman ITB Bandung. Kepada Syamsu Basaruddin, sekretaris lembaga itu, ia memperkenalkan dirinya: Dewi, alumnus sebuah SMA di Bandung, yang tengah bersiap-siap memasuki bangku perguruan tinggi. Dia ke situ bukan untuk bertanya-tanya bagaimana bisa lolos jadi mahasiswa. Dewi datang menemui Syamsu untuk satu hal yang amat mengganggu pikirannya: konsultasi tentang sebuah kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Syamsu akhirnya mafhum atas apa yang tengah dihadapinya. Karena Dewi bukan satu-satunya yang mengadukan hal serupa ke lembaga tersebut. Sudah banyak yang lain, umumnya ABG dan mahasiswa, bimbang dengan sepak terjang kelompok NII yang kini populer disebut "N Sebelas". Kepada Syamsu, Dewi mengaku sudah terdaftar menjadi anggota tetapi belum sampai dibaiat. Dalam situasi itulah, keyakinannya teraduk-aduk. Karena dari beberapa kali hadir dalam kelompok NII, kata Dewi kepada Syamsu, ia menerima ajaran yang terasa aneh dari yang didengarnya selama ini.
Syamsu kemudian menuturkan, NII menyamakan masa sekarang dengan masa sebelum Nabi Muhammad saw., yakni masa jahiliah. Dan, untuk inilah mereka tampil: membebaskan orang dari zaman jahiliah. Makanya, mereka tidak mau bergaul dengan orang di luar kelompoknya. Orang yang keluar dari keanggotaan mereka dipandang murtad. Darahnya dianggap halal. "Mereka menganggap, Islam yang dibawa merekalah yang benar. Di luar itu salah," tutur Syamsu Basaruddin kepada Tajuk.
Gerak-gerik kelompok ini sangat eksklusif. Tempat pertemuan dan pengajiannya berpindah-pindah. Mereka memakai sistem sel. Antara satu kelompok dan kelompok lain, begitu pula antara satu lapisan dan lapisan lainnya, tidak saling tahu. Apalagi antar-orang per orang. Begitu jadi anggota, setiap orang mendapat nama baru. Nama aslinya ditanggalkan. Makanya, Syamsu bisa memastikan, Dewi bukanlah nama asli. "Itu nama samaran dia, kendati saya tidak menanyakan nama aslinya," katanya.
Karena sistem sel, tak banyak yang tahu berapa jumlah anggota N Sebelas. Yang pasti, tangan mereka sudah menjulur ke berbagai daerah di tanah air. Dari investigasi Tajuk selama dua pekan terakhir ini, diketahui, aktivitas kelompok ini bukan hanya di Bandung. Tetapi sudah ada juga di Jabotabek, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Sejumlah kalangan bahkan menduga, gerak-gerik mereka sudah sampai Kalimantan dan Sulawesi. Masuk akal, sebab rekrutmen mereka memakai pola berantai. Setiap anggota diwajibkan meraih anggota baru dalam jumlah tertentu. Di Bandung, misalnya, setiap anggota dibebani 10 orang anggota baru. Di Jakarta, minimal empat orang. Di Medan, kaki tangan NII juga aktif menggarap ABG dan mahasiswa, selain orang tua.
Yanti dan Novi (bukan nama sebenarnya) diduga termasuk yang pernah direkrut kelompok ini. Keduanya sama-sama mengaku diajak Wiwin, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Awalnya, tutur Yanti kepada Tajuk, Wiwin mengajaknya ikut pengajian di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Ia langsung sreg saja. Selain Wiwin teman sekelasnya di SMP, ajakan itu juga tujuannya baik. Apalagi, kata Wiwin, pengajian tersebut khusus mempelajari tafsir Alquran. "Saya tertarik karena memang dari keluarga Islam yang taat," kata dara manis berusia 20 tahun ini.
Saat pergi ke tempat pengajian, Wiwin mengajaknya muter-muter dulu sampai dia tidak hafal lagi di mana tempatnya berada. Di tempat pengajian, sudah ada puluhan orang menunggu. Mereka lalu masuk satu per satu ke dalam ruangan. Tiba gilirannya, rupanya bukan tafsir yang diajarkan. Ia malah diajak ngobrol. Salah seorang dari mereka menanyakan latar belakang keluarganya: nama orang tua, berapa saudara, ada yang tentara/polisi apa tidak. Punya emas berapa gram, luas tanah berapa, rumah tipe berapa. Dan, pesan terakhir kepadanya: "Jangan cerita ke siapa-siapa tentang pengajian ini. Kalau ada yang aneh, jangan lapor polisi."
Keesokan harinya, ia dibawa ke markas penampungan di daerah Lebak Bulus. Dari situ, ia dibawa dengan minibus milik mereka ke sebuah rumah. Suasananya mirip sebuah kompleks perumahan. Bersama 10 orang lainnya, Yanti lalu dibawa dengan mobil yang sama ke suatu tempat. Ia tak tahu di mana sebenarnya tempat dimaksud. Soalnya, beberapa saat menjelang sampai tujuan, mereka diminta menutup mata dengan tangan sendiri. Kalau sampai dibuka, katanya kualat. Dia menduga, tempat tersebut masih di sekitar Jakarta. Menjelang magrib, mereka tiba pada sebuah rumah cukup besar. Lingkungannya seperti di kompleks perumahan, karena model rumahnya hampir sama. Semua jendela ditutup gorden. Lampu dinyalakan seperlunya. "Kami berjalan jinjit tanpa suara. Kata mereka, agar enggak kedengaran tetangga," tutur Yanti.
Di situlah, Yanti tahu temannya. Ada yang datang dari Jakarta, Bogor, dan empat orang dari Bandung. Semuanya perempuan, rata-rata mahasiswa. "Mereka juga tampak bingung seperti saya," kata Yanti. Tak lama berselang, mereka mulai diperkenalkan dengan ajaran kelompok ini yang katanya berdasar pada Alquran. Intinya antara lain: tidak boleh berzina, tidak boleh merokok, kawin hanya dengan sesama anggota, salat cukup dalam hati. Satu hal lagi, tidak boleh menceritakan ajaran ini kepada orang yang bukan anggota.
Untuk jadi pengikut yang sempurna dari kelompok itu, begitu kata sang guru, harus melewati tiga tahapan. Pertama, pengikut diharuskan mempelajari tafsir yang mereka berikan. Pada tahapan ini, anggota mengikuti pelajaran huruf Arab gundul. Setelah lolos dari tahapan ini, anggota diharuskan "hijrah" agama dari agama semula ke Islam Tauhid. Tujuannya untuk membersihkan diri. Sebab, manusia, kata ajaran itu, masih kotor seperti anjing.
Yanti sendiri mengaku sudah berhijrah. Setelah ritual itu selesai, anggota diwajibkan tinggal dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok ini dibentuk, umumnya, berdasarkan angkatan "pendidikan". Setiap kelompok terdiri dari 10-15 laki-laki dan perempuan. Mereka diharuskan tinggal dalam satu rumah. Kalau sampai ada yang hengkang dari kelompok, mereka dipindahkan ke rumah baru. Ini untuk menjaga kerahasiaan kelompok. Kelompok-kelompok ini cukup banyak, tetapi tidak saling mengenal satu sama lain. Yang bisa dikenali hanyalah para guru, yang jumlahnya sekitar 10 orang. Guru-guru itu berumur sekitar 20-25 tahun, kebanyakan mengaku mahasiwa. Penampilannya necis, yang cowok memelihara jenggot.
Setelah jadi anggota, setiap orang diwajibkan merekrut empat anggota baru. Kewajiban lain, membayar iuran Rp 550 ribu. Uang ini dicicil setiap bulan Rp 50 ribu. Katanya, duit itu ditabung untuk masa depan pengikut. Pokoknya harus ada, terserah didapat dari mana. Kalau bukan dari orang tua, bisa diminta dari orang lain. Ini yang membikin Yanti stres. Mau didapat dari mana duit sebanyak itu. Dia berasal dari kalangan menengah bawah. Keluarganya tinggal di sebuah perkampungan dekat Terminal Manggarai. Karena tak tahan, akhirnya ia berhenti ikut pengajian. Kendati acapkali dikontak kelompok itu, ia akhirnya memilih tobat. Apalagi setelah seorang temannya, yang masuk ke kelompok itu lewat dirinya, sampai sekarang tak pernah kembali ke rumah orang tuanya. "Ini yang membuat saya merasa berdosa," katanya.
Seperti halnya Yanti, Novi juga berpaling dari kelompok itu. Ia sedikit beruntung, belum disumpah seperti Yanti. Dari Rp 550 ribu iuran wajib, baru Rp 100 ribu yang dibayarnya. Beban untuk merekrut anggota baru belum satu pun didapat. Gadis lincah 19 tahun, yang baru dua tahun lalu lulus SMU, ini sudah keburu sebal dengan ajaran kelompok itu yang katanya banyak penyimpangan. Hal ini langsung terasa, tatkala dia hadir pertama kali di markas pengajian mereka di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Seorang di antara mereka, namanya Rahmat, bertanya kepadanya, "Kamu percaya Alquran?" Alquran boleh diinjak enggak? Boleh diludahin enggak? Boleh dilemparin enggak?" Jawaban Novi, tidak boleh. Rahmat langsung menyahut, "Siapa bilang, enggak boleh? Lihat, saya akan lakukan itu, dan saya tidak akan kualat, sebab Alquran itu buatan manusia." Rahmat lalu menginjak, meludahi, menyobek kitab suci itu.
Novi berkenalan secara tidak sengaja dengan Wiwin di halte Jalan Minangkabau, Manggarai, beberapa bulan lalu. Ia menduga, Wiwin sudah lama menguntitnya. Soalnya, setiap dia ke halte itu Wiwin selalu ada. Wiwin mengajak berkenalan, mengaku mahasiswa Universitas Indonesia. Lalu, biasa, hampir setiap hari Wiwin nongol di rumahnya. Sampai akhirnya dia terjerat dalam jaring-jaring kelompok itu. Trik seperti itu dipakai semua pengikut untuk merekrut anggota baru.
Caranya: pusatkan perhatian pada orang yang bakal digarap. Ketahuilah seluruh aktivitasnya. Untuk itu, ikuti calon korban mulai dari rumahnya hingga ke tempat-tempat yang sering dikunjungi. Setelah kebiasaan dan tabiatnya dipahami, langkah berikutnya: mengajak berkenalan, menanyakan alamat, lalu mengunjungi rumahnya sesering mungkin. Pokoknya, sampai benar-benar akrab. Kalau sudah demikian, baru diajak mengikuti pengajian. Sebagian anggota ada yang mencari "mangsa" di mal-mal seperti Pasar Festival Kuningan, Blok M, dan lain-lain. Ciri-ciri mereka, kata Novi, bisa diketahui. "Kalau sedang mencari mangsa baru, yang perempuan biasanya berjilbab. Mukanya tidak bercahaya, hitam."
Yanti dan Novi memang tidak menyebut bahwa kelompok yang dimasukinya N Sebelas. Yang mereka ketahui, kelompok ini menamakan dirinya Aliran Islam Tauhid. Namun, dari berbagai model dan cara mereka beroperasi, ada indikasi, ini adalah kelompok N Sebelas. Indikasi ini makin kuat, setelah Tajuk bertemu Narsih (bukan nama sebenarnya) – salah seorang dari dua nama mantan anggota yang diberikan Yanti dan Novi. Narsih tinggal di Bandung. Ia bergabung dengan kelompok ini tahun lalu, lewat ajakan seorang bekas teman dekatnya semasa SD. Ketika itu, Narsih baru menamatkan program Diploma 1 pada sebuah akademi swasta di Bandung.
Selama setahun menjadi anggota, dara manis berusia 20 tahun ini sempat beberapa kali mengikuti pengajian. Tempatnya berbeda-beda. Di antaranya, di wilayah Jalan Gegerkalong Bandung. Satunya lagi, di halaman perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung di Jalan Dipatiukur 35. Di halaman perpustakaan itu memang tersedia beberapa meja bundar besar. Hampir setiap sore, kata Narsih, dia bersama anggota kelompoknya berkumpul dan berdiskusi. Aktivitas mereka tak mencolok. Karena kehadiran mereka selintas seperti kumpulan mahasiswa lain yang tengah belajar bersama. "Unpad termasuk salah satu basis perkumpulan mereka," kata Narsih. Selain Unpad, menurut Syamsu Basaruddin, penganut N Sebelas ini juga tersebar di ITB dan sejumlah perguruan tinggi swasta di Bandung.
Seperti halnya Yanto dan Novi, Narsih hengkang dari sana karena melihat banyak keganjilan. Misalnya, orang lain – termasuk orang tua – tidak boleh tahu. Dan, yang amat merepotkan, dia dimintai duit untuk iuran Rp 600 ribu. Katanya, itu sebagai persyaratan untuk "hijrah". Kalau belum "hijrah", berarti belum resmi jadi anggota kelompok. Bukan cuma itu. Pada setiap pertemuan pun, anggota dimintai sumbangan. Pernah suatu kali, tutur ayah Narsih kepada Tajuk, kalung emas lima gram milik Narsih raib. Ketika ditanya, Narsih baru mengaku kalau kalungnya diberikan kepada kelompok sebagai pengganti uang yang harus dibayarkan. "Itu satu-satunya yang diketahui orang tua tentang kegiatan saya di kelompok itu," kata Narsih, anak pensiunan pegawai swasta ini.
Duit memang jadi soal besar dalam kelompok ini, selain soal aliran agama tadi. Banyak keluhan, bahkan pengaduan terhadap kelompok ini, karena membebani pengikutnya dengan duit begitu banyak. Lebih-lebih bagi pengikut ABG dan mahasiswa yang tak berpenghasilan. Bulan lalu, Polres Malang bahkan menerima pengaduan beberapa orang tua mahasiswa yang jadi korban N Sebelas. Besar tipuannya bervariasi, antara Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. "Mahasiswa asal Bima (NTB) ada yang kena Rp 5 juta, dengan perjanjian akan dijadikan camat," kata salah seorang perwira Polres Malang kepada Tajuk.
Di Polres Malang, para korban mengaku awalnya diajak berdiskusi tentang agama oleh anggota N Sebelas. Yang diindoktrinasi kepada anggota baru sama seperti di tempat lain: menganggap dirinya sebagai kelompok suci, yang mengajak orang untuk keluar dari zaman jahiliah sekarang ini. Karena anggota baru berasal dari kelompok kotor, harus membayar denda. Besarnya ditentukan mereka. Tergantung kekuatan ekonomi keluarga si anggota. Rosidah (samaran), mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang, diminta membayar uang hijrah Rp 800 ribu. Ini karena pemantapan hijrah dilakukan di Jakarta. "Karena saya tidak punya duit, terpaksa saya menipu orang tua dengan berbagai alasan," kata mahasiswa semester tujuh, yang kini mondok di Pondok Pesantren Gasek Malang.
Seperti pelbagai aktivitas lain di kelompok itu, proses keberangkatannya ke Jakarta dilakukan secara sembunyi. Hari itu, sekitar pukul 11.55 WIB, orang NII mengontaknya via telepon, menyuruhnya menunggu di Terminal Arjosari Malang. Di situ sudah menunggu sebuah mobil Panther warna hitam. Beberapa senior yang tidak dikenalnya telah menunggu dengan mengenakan baju rapi dan membawa tas besar. Dari Malang, mereka bergerak menuju Terminal Bungurasih Surabaya. Di sana, sudah menunggu dua orang dari Yogyakarta, dua lagi dari Solo, dan seorang dari Surabaya. Rombongan itu tiba di Jakarta pukul 09.00 keesokan harinya. Hari itu pula, sekitar pukul 18.00 mereka kembali ke Surabaya. "Saya enggak tahu di Jakarta mana saya dibawa," kata gadis itu, polos.
Jika dihitung, total biaya yang dikeluarkan Rosidah untuk itu sekitar Rp 1,5 juta. Angka yang cukup mencengangkan untuk ukuran mahasiswa. Rosidah kini bersyukur, karena sejak bulan Januari lalu bisa putus hubungan secara total dengan kelompok itu. "Saya keluar karena saya tidak puas. Banyak pertanyaan yang ada pada diri saya tidak terjawab dalam forum NII." Kini, di Ponpes Gasek, dia "diisi" oleh Ustaz Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren Gasek Malang, dan kiai lainnya. "NII itu penipu. Nama Islam dipakai kedok untuk mengeruk uang," kata Ustaz Marzuki, pengasuh ponpes dan dosen pascasarjana STAIN Malang.
Menurut Ustaz Marzuki, ajaran NII menyimpang dari ajaran Islam. Pertama, karena serius terlibat dalam diskusi, banyak anggota NII melupakan salat. Kedua, ketentuan infak tiap bulan Rp 60 ribu tidak mempunyai dasar hukum jelas. Ketiga, penggantian puasa Ramadan (bagi wanita haid) dengan denda (uang) juga tidak punya dasar hukum kuat. Keempat, adanya ketentuan zakat fitrah per tahun Rp 50 ribu. Kelima, batas waktu makan sahur adalah sampai matahari terbit. Dan, keenam, mereka menganggap dirinya paling benar dengan jaminan masuk surga. "Apa mereka sudah teken kontrak. Kok begitu yakin masuk surga," katanya.
Polres Malang sudah meng-obok-obok beberapa tempat yang diduga sebagai markas operasi kelompok ini. Di antaranya di Jalan Dieng, Tlogomas, Lindung Sari, dan ITN. Hasilnya nihil. Para korban tidak bisa memastikan lokasi pengajian, karena ketika dibawa ke sana mata mereka ditutup. Dalam dua pekan terakhir ini, Tajuk menginvestigasi beberapa tempat yang diduga menjadi sarang mereka. Atas sedikit petunjuk dari Rosidah, Tajuk mendatangi musala Wadaful Ikhlas, yang terletak di Desa Njoyo, Kecamatan Dinoyo, Malang. NII kabarnya acapkali menggelar diskusi di sana. Tak ada jejak apa-apa. Kata seorang penduduk, dulu memang ada orang kumpul-kumpul. Dia pikir, itu kegiatan biasa saja, karena di situ banyak mahasiswa.
Salah seorang aktivis Unit Agama Kerohanian Islam (UAKI) Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya menerbitkan titik terang baru ihwal markas NII. Sebut saja namanya Kukuh. Ia mengaku tahu markas NII karena pernah diajak Yuswanto, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Angkatan 1996. Di NII, kata Kukuh, Yuswanto duduk sebagai kepala bidang kesehatan wilayah Malang. "Mereka sering kumpul di Desa Karang Besuki."
Bersama Kukuh, upaya pencarian diarahkan ke Karang Besuki. Ternyata rumah dimaksud, yang terletak di RT 3 RW 3 Nomor 182 Karang Besuki, Kecamatan Sukun, ini sudah berubah jadi warung makan. "Kita menempati lokasi ini sejak empat bulan lalu," kata Lilik, pemilik warung. Penelusuran akhirnya mengarah kepada Yuswanto. Dari bagian kemahasiswaan FK Unibraw diperoleh alamat Yuswanto: Jalan Pisang Candi Barat Nomor 10C. Alamat itu ternyata tak ada. Yang ada cuma Nomor 10. Itu pun bukan rumah Yuswanto. Setelah dicari sepanjang jalan itu, lewat seorang penduduk yang tengah duduk di masjid besar Pisang Candi, rumahnya dapat diketahui. "Yuswanto anak Unibraw? Rumahnya persis di belakang masjid ini, Mas."
Rumah Wawan, begitu ia disapa di lingkungannya, tergolong lumayan. Rumah itu berlantai dua dengan ubin keramik. Sayang, ketika itu ia tidak ada di tempat. Endah, kakak Wawan, bilang, "Dia keluar rumah pukul 06.00 dan kembali di atas pukul 22.00." Endah bercerita, sejak semester dua (1997), adiknya memang agak aneh. Setelah pihak keluarganya mencari tahu ke sana-kemari, ketahuan, Wawan terlibat dalam kelompok NII. Ketika ditanya Endah, Wawan menjawab, "Saya ingin menjadi muslim sejati."
Masalahnya, tutur Endah kepada Tajuk, Wawan menyertai setiap aktivitasnya di NII dengan permintaan uang secara terus-menerus kepada orang tuanya – dengan berbohong pula. Misalnya, merusakkan peralatan laboratorium, menghilangkan kalkulator atau buku teman, dan sebagainya. Perhiasan ibunya senilai Rp 12 juta bahkan pernah raib tanpa bekas. Endah menampik, kalau dikatakan, itu ulah pencuri dari luar rumah. Jika ditotal, duit yang dipakai Wawan sejak bergabung dengan NII sudah mencapai Rp 20 juta. "Sampai Ibu sakit, Mas. Wawan kan paling disayang. Dia laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Gimana ya, Mas, cara mengatasinya? Keluarga sudah suntuk. Kuliahnya juga ancur-ancuran. Kami sekarang hanya bisa berdoa," kata alumnus Fakultas Perikanan Brawijaya ini, pasrah.
Rosidah, Wawan, dan teman-temannya, cuma sekian dari puluhan – mungkin juga ratusan atau ribuan – anak muda yang terjerat aliran tak jelas, seperti N Sebelas, yang sejatinya telah lama ada di tengah kita. Mereka terus bergerak, seraya menjaring anggota baru. Dari pengamatan Syamsu selama ini, orang yang bersentuhan dengan N Sebelas bisa dipilah ke dalam tiga kelompok. Mereka yang akan masuk, yang sudah masuk namun ragu-ragu, dan mereka yang sudah jadi anggota fanatik. Yang acapkali datang ke lembaga Salman, umumnya, masih berada pada kelompok pertama dan kedua. "Mereka umumnya masih bisa diarahkan untuk kembali ke arah yang benar." Namun kelompok ketiga, kata Syamsu, sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Mereka bahkan pernah menantang Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandung berdebat tentang Islam."
Tim Tajuk
(http://www.tajuk.com/edisi20_th2/)

2 comments:

  1. Anonymous6:28 PM

    saur Ketua FUUI , KH. Athian ali m. dai etamah NII GADUNGAN SAURNATEH

    ReplyDelete
  2. enya, da nu lempeng mah moal kikituan. nuhun lur

    ReplyDelete